Oleh :JOS KHALIFAN K.A.,S.HI.
Secara historis, pesantren merupakan sebuah
lembaga pendidikan yang berbasis pengajaran tekstual yang eksistensinya mulai
tampak pada akhir abad ke-18. Dalam istilah gusdur, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang melanjutkan estafet pendidikan pra islam. Orang pertama kali
yang mendirikan pesantren dipulau jawa
adalah Maulana Malik Ibrahim. Dalam perkembangannya pesantren juga sangat
memberikan peranan penting bagi bangsa dan Negara. Hal ini dapat dilihat pada
masa penjajahan kolonial, dimana pesantren diakui secara umum telah menjadi
benteng perlawanan yang tampak pada
kulminasi dukungan dan bantuan pada pangeran diponogoro dalam melawan
penjajah.(Abdurrahman Wahid,2007, 123).
Senada dengan semangat dan gelora
perjuangan membela bangsa dan negara, pesantren melalui kyai/ulama dan santri
kembali menorehkan sejarah perjuangan yang diawali dengan sikap kritis terhadap
kedatangan sekutu yang ditengarai ditunggangi oleh NICA (Nederland Indie Civil Administratie). Berawal dan kritisitas
tersebut, lahirlah pertempuran sengit antara sekutu dan rakyat Indonesia pada
10 Oktober 1945. Melihat bentrok fisik yang semakin memanas, Presiden Sukarno
menggelitik dan menggugah semangat juang para ulama dan santri Nahdlatu Ulama
dengan mendelegasikan seseorang untuk menyampaikan pertanyaan kepada K.H.
Hasyim As’ari tentang landasan hukum membela tanah air. Pertanyaan inilah yang
kembali membakar semangat juang kaum pesantren dengan mengeluarkan instruksi
untuk berjihad dijalan Allah dengan melawan para penjajah.
Potret historis diatas mengandung
pengertian bahwa pesantren memiliki peranan dalam membentengi umat, bangsa dan
Negara. Sejalan dengan peranan tersebut, dewasa ini pesantren tidak lagi
berhadapan dengan penjajah jepang dan
belanda secara fisik, melainkan
pesantren telah berhadapan dan bersentuhan dengan proses globalisasi
dunia yang secara bebas produk produk dunia luar yang berupa pemikiran, budaya,
tekhnologi dan lain sebagainya dengan mudah berinteraksi, beradaptasi dengan
masyarakat Indonesia. Proses diatas, dalam istilah ekonomi dunia disebut
sebagai free trade yaitu perdagangan bebas atau pasar bebas. Gerakan pasar ini,
ternyata diamini oleh banyak Negara, termasuk juga Negara Indonesia. Pernyataan
tersebut dapat dibuktikan dengan adanya bentuk kerjasama dibidang ekonomi yang
akrab disebut Free Trade Aggrement (FTA)
dan disusul dengan kehadiran masyarakat
ekonomi Asean (MEA).
Berdasar pada realitas diatas, tampak jelas
bahwa bangsa Indonesia termasuk juga kaum santri tidak bisa keluar dari
himpitan dunia global, melainkan secara otomatis ikut bermain dalam pentas
percaturan global. Lantas pertanyaanya adalah bagaimana pesantren membangun SDM
(Sumber Daya Manusia) yang siap dan mampu bermain dipentas percaturan global?.
Dengan demikian tulisan ini bertujuan
membangun kembali sikap kritis kaum santri dan memberikan ramuan segar
dalam menyiapakan SDM para santri sebagai bentuk jihad masa kini.
Rekonstruksi mentalitas kaum santri
Keberadaan pasar bebas di Indonesia
menggugah penulis sebagai generasi bangsa yang berjiwa santri untuk mengungkap
secara mendalam pesan apa yang bersemayam dibalik kebebasan global. Menurut
hemat penulis, minimal ada dua pesan yang dibawa oleh para pemilik modal asing
dalam membawa produk produk daganganya ke bumi pertiwi Indonesia. Pertama,
penguasaan atau dominasi capital. Artinya, tujuan utama dari para pemilik modal
asing dalam menyebarkan produk dagangannya keindonesia adalah memiliki keuntungan sebanyak banyaknya, Tujuan ini
sangat berdampak negative bagi pemilik modal local. Rasionalisasinya adalah
minat para pembeli produk local semakin berkurang, akibat adanya produk produk
global yang memiliki kualitas lebih dan harga mudah dijangkau. Fenomena
tersebut semakin, tampak dan dirasakan masyarakat Indonesia, denga hadirnya
produk produk cina dengan harga yang sangat murah dan model yang lebih unik
dari produk global lainnya. Saat ini masyarakat lebih banyak membeli produk
produk cina, dengan harga terjangkau, dari pada membeli produk
produk yang lainnya dengan harga yang mahal. Dengan adanya, produk global
inilah, secara tidak langsung produk local akan termarjinalkan, dan pemilik
modal local akan “gulung tikar” .
Dalam konteks yang lebih luas, hadirnya
produk global, akan memperkecil pendapatan ekonomi masyarakat Indonesia, bahkan
akan memperpuruk kondisi ekonomi bangsa khususnya masyarat pedesaan yang status
sosialnya menengah kebawah. Dengan mengikuti asumsi tersebut, pesantren yang
berbasis pedesaan dan masyarakat menegah kebawah, juga akan mengalami
keterpurukan ekonomi, sehingga tidak mampu mengawal pendidikan masyarakat
kearah yang lebih maju dan berkualitas. Kedua, dominasi tradisi dan budaya, yaitu perebutan akar akar tradisi
local, dan kemudian di injeksikan tradisi global. Dominasi ini akan berdampak
hilangnya bangunan moralitas bangsa idonesia.
Berbicara tentang tradisi, pesantren yang
kerap menyuarakan dan menanamkan tradisi lokal keagamaan, dengan adanya pasar
bebas juga terganggu eksistensinya. Hal ini disebabkan karena tradisi global
yang ditawarkan, bersifat adaptif dengan zaman. Masyarakat yang sudah
terhegemoni oleh zaman modern, akan semakin gandrung menikmati produk produk
global yang di klaim sebagai bagian dari modernitas. Mereka asyik menikmatinya
tanpa berpikir dampak yang akan terjadi pada pencerabutan akar tardisi.
Misalnya, kehadiran produk fashion dari eropa dan cina yang modelnya sangat
mencerminkan keterbukaan, saat ini banyak dilirik dan dinikmati oleh masyarakat
Indonesia, bahkan tidak jarang juga dipakai oleh kalangan pesantren.
Kenyataan diatas, secara implisit bisa
dikatakan telah berhasil merebut tradisi atau mendominasi tradisi lokal yang
dipopulerkan oleh kaum pesantren yaitu busana muslim. Dari dua pesan dominatif
dalam perdagangan bebas diatas, pesantren sebagai benteng bangsa, khususnya
umat Islam harus kembali merebut akar tradisi tradisi local yang telah
dibangunnya dengan membangun dan mempersiapkan sumber daya manusia para santri,
sehingga mampu beradaptasi dengan realitas global. Untuk mengawal tujuan mulia
tersebut, penulis dalam tulisan ini
ingin menawarkan metode penggalian atau pemantapan SDM yang berpijak pada
tradisi lokal. Metode yang dimaksud adalah menejerial kebudayaan (daurah
tsaqofah) yaitu pengelolaan potensi santri yang berakar pada kekayaan alam bumi
pertiwi, dan khazanah pesantren secara teorganisir. Misalnya: santri yang gemar
membaca, berdiskusi dan menulis diberikan fasilitas dan ruang khusus untuk di didik
dan dibina hingga menjadi ilmuan dan penulis yang profesional. Metode tersebut
dilakukan untuk membangun mental intelektual dan spiritual, berpikir terbuka,
mampu mengembangkan potensi dirinya dengan tetap berpijak pada tradisi, diramu
dengan model kekinian sesuai perkembangan zaman, bersifat, istiqomah, bertahap,
dan sistematis. Dengan kata lain, metode tersebut akan melahirkan santri yang
kreatif dan produktif, tajam dalam berpikir, lembut dalam berdzikir, mandiri,
tidak teralinasi, militan dalam melawan segala bentuk kedholiman dan
penjajahan.
No comments:
Post a Comment