Pernikahan Dini yang dimaksud di
sini bukan pernikahannya Si Dini seperti salah satu judul sinetron yang
ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Akan tetapi pernikahan
yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum mencapai umur 19 tahun bagi Si
Pria dan 16 tahun bagi Si Wanita. Atau pernikahan yang dilakukan dimana calon pengantin
(catin) pria belum berusia 25 tahun dan catin wanita belum berusia 20 tahun
sesuai anjuran pemerintah. Hal
ini perlu penulis jelaskan agar pembaca tidak salah persepsi dalam memahami
tulisan ini.
Pernikahan Dini dan
Peraturan Perundangan
Sebetulnya persoalan pernikahan dini
merupakan masalah klasik yang sudah ada sejak zaman dahulu. Konon Rasulullah
Muhammad SAW menikahi 'A'isyah binti Abu Bakar as Shiddiq rodiyallohu
'anhuma ketika 'A'isyah masih berusia 9 tahun dan menjadi satu-satunya
istri Rasulullah yang perawan ( bikr ). Persolan ini menjadi aktual dan
relevan kembali setelah Undang-undang no. 1 tahun 1974 mengatur bahwa usia
minimal bagi calon suami untuk menikah adalah 19 tahun dan untuk calon istri 16
tahun. Apabila usia catin
kurang dari itu harus mendapat izin dispensasi dari Pengadilan Agama dan
apabila kurang dari 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya, kalo
kedua orang tuanya meninggal izin bisa diperoleh dari wali pengampu / yang
memelihara. ( UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ).
Kemudian pemerintah
menindak-lanjuti dengan mengeluarkan aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975. Untuk menguatkan sistem pengadilan mana yang
berhak menangani apabila terjadi sengketa di bidang pernikahan, maka
diundangkanlah UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai hukum acara
untuk berpekara di lingkungan Pengadilan Agama. Dengan unudang-undang ini
menjadi jelaslah bagi ummat Islam bahwa apabila terjadi sengketa
perkara-perkara pernikahan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama,
termasuk apabila terjadi pernikahan dini, kemudian ada pihak yang merasa
dirugikan atau terdlolimi, bisa mengajukan pembatalan melalui Pengadilan Agama.
Agar terjadi kepastian hukum dalam masalah pernikahan ini ( juga di bidang
Waris dan perwakafan ), maka keluarlah Instruksi Presiden RI
no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ( K.H.I. )sebagai hukum materiil
bagi para hakim agama. Pasal 15 KHI menerangkan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU no.1 / 1974 yakni calon
suami minimal umur 19 tahun dan calon istri minimal umur 16 tahun.
Juga setelah pemerintah
mengundangkan UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dimana yang
dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan orang tua
atau keluarga yang mengasuh apabila orang tuanya tidak mengasuh atau meninggal,
wajib dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak ( Lihat pasal 1 ayat 1 dan pasal 26 ayat 1c). Setiap orang yang
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain ( baik dengan menyuruh berzina atau menikahkannya,
pen.) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).( Ibid. pasal 88).
Masalah pernikahan dini disinyalir
sarat akan pelanggaran baik secara hukum positif maupun hukum agama ( fiqih ). Lantas
bagaimanakah persoalan ini jika dilihat dari sudut pandang agama, medis dan
sosial kemasyarakatan ?
Tinjauan Agama, Medis
dan Sosial Kemasyarakatan
Pernikahan merupakan pintu gerbang
untuk menuju kehidupan rumah tangga dimana setiap pasangan yang menikah
mengharapkan kehidupan rumah tangga yang harmonis penuh dengan ketenangan,
kedamaian, kebahagiaan dan dihiasi dengan cinta kasih yang tulus dari
masing-masing pasangan. Dan selama berkecimpung di dunia kepenghuluan, belum
pernah penulis mendengar ada Catin yang
menginginkan rumah tangga yang akan dibangun nanti putus di tengah jalan dalam
artian bercerai di Pengadilan Agama sebelum Allah SWT memisahkan keduanya
karena maut merenggut salah satu pasangan. Oleh karena itu tentunya rumah
tangga harus dibangun berlandaskan dasar yang kokoh dan dijalankan oleh sumber
daya manusia (SDM) yang matang dan tangguh, matang usianya, pola pikirnya, ilmunya
dan tangguh mental spiritualnya serta ekonominya. Tanpa ikhtiar seperti ini
nampaknya agak sulit bagi setiap pasangan dalam mengarungi mahligai rumah
tangga untuk sampai kepada cita, angan dan asa yang diinginkan. Allah SWT
memberikan bimbingan kepada kita lewat firmanNya ;
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : "Dan diantara
tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakanuntukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." ( Q.S. Ar
Rum (30) : 21 ).
Untuk membuat seorang suami
cenderung dan merasa tenteram bersama istrinya tentu diperlukan seorang isteri
yang menarik ( cantik ) menurut ukuran sang suami dan mampu berbuat sesuatu
agar suami merasa tenang dan tenteram di sampingnya. Dengan demikian diperlukan
suami-isteri yang saling pengertian, dan hal ini akan sulit diwujudkan manakala
salah satu pasangan masih bersikap kekanak-kanakan yang selalu ingin
diperhatikan tetapi dia kurang memperhatikan, setiap keinginannya harus selalu
dipenuhi tanpa mengerti kondisi ekonomi pasangan
dan tidak mampu untuk diajak bermusyawarah dalam memecahkan segala problematika
kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu Komisi Fatwa MUI pada tahun 2006
bersefakat untuk mengharamkan pernikahan dini karena banyak membawa
kemudharatan daripada manfaat kemaslahatan yang akan diperoleh, tetapi MUI
masih menghukumi syah pernikahan dini. ( Jawa Post 29 Oktober 2008 ).
Hukum Islam diciptakan tujuannya
adalah untuk membawa kepada kemaslahatan umat manusia.( Lihat Abdul Wahab
Khalaf : 'Ilmu ushul al Fiqh, Darul Qalam 1398 H/1978 M, hal. 58 ).
Manakala dalam penerapan suatu hukum tidak membawa kepada kemaslahatan tetapi
malah mendatangkan kemudharatan maka hukum itu harus ditinggalkan. Seperti kasus
Syeh Puji yang menikahi gadis berusia 12 tahun Lutfiana Ulfa, ia beralasan
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW yang menikahi 'A'isyah konon ketika masih
berusia 9 tahun. Menikahnya itu yang sunah Nabi, tetapi menikah dengan gadis
dibawah umur apa termasuk sunah nabi ? ini yang menurut penulis perlu
reinterpretasi dalam memahami sebuah hadits. Karena Nabi Muhammad hanya
mengatakan ; "Nikah itu sunnahku barang siapa yang tidak senang dengan
sunnahku berarti ia bukan termasuk ummatku". Penulis belum pernah
menemukan bahwa Nabi memerintahkan atau menganjurkan untuk menikahi gadis yang
masih sangat muda belia dan belum siap untuk menghadapi dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang akan ia jumpai dalam kehidupan berumah tangga. Bahkan
Nabi pernah menyerukan kepada para pemuda-pemudi yang telah mampu / memiliki
kemampuan ( istitho'ah ) untuk segera menikah, dan bagi yang belum
mampu harus menjaga kehormatannya dan mengendalikan hawa nafsunya dengan
berpuasa. Dalam konteks sekarang ini "mampu menikah" itu manakala
seseorang sehat jasmani rohani, memiliki cukup ilmu, baik ilmu agama maupun
disiplin ilmu yang lain serta keterampilan sebagai bekal untuk mencari solusi
terbaik dalam persoalan-persoalan rumah tangga dan mempunyai penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kemampuan ini sangat sulit dimiliki oleh
seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah yang semestinya ia harus konsern dalam
belajar untuk mencari ilmu.
Salah satu tujuan pernikahan itu
adalah untuk memperoleh keturunan guna mempersiapkan generasi penerus yang
lebih berkualitas tentunya. Secara medis, rahim yang siap dan memenuhi standar
kesehatan untuk hamil apabila wanita berusia antara 21 - 35 tahun. Apabila
wanita hamil kurang dari atau melebihi usia itu dikhawatirkan atau rentan
terjadi kelainan-kelainan pada bayi dan bisa membawa mudharat bagi ibu sang
bayi. Bukankah Al Qur'an telah membimbing kita agar kita mempersiapkan generasi
penerus yang handal dan bisa diandalkan ?! Generasi yang tangguh ilmunya
sehingga dia bisa bersaing di bursa kerja, mampu membimbing keluarga dan
masyarakat, kuat ekonominya sehingga dia tidak membebani orang tua dan
masyarakat sekitarnya meminta-minta dan menjadi golongan marginal yang tidak
diperhitungkan dan menjadi sampah masyarakat na'udzu billah min tilka.(
Lihat Q.S. An Nisa' (4) : 9 ).
Sekarang masyarakat mulai sadar akan
pentingnya pendidikan, sehingga lambat laun semakin berkurang orang tua yang
menikahkan dini putera-puterinya. Harus disadari bersama bahwa dengan
menikahkan anak di usia dini bukan malah meringankan beban orang tua, tetapi
malah menambah beban bagi orang tua, bukan menyelesaikan masalah tetapi malah
menambah masalah. Anak yang masih usia dini apabila dia menikah, maka setiap
mendapatkan masalah dalam rumah tangga, dia akan selalu mengadu ke orang
tuanya, dan banyak diantara mereka yang menikah di usia dini, gagal / tidak
berhasil mempertahankan rumah tangganya dan akhirnya kembali membebani orang
tuanya. Rasulullah Muhammad SAW pernah membimbing kita lewat sabdanya, bahwa
apabila kita ingin sukses hidup di dunia ini, harus ditempuh dengan ilmu (
agama dan ilmu pengetahuan lainnya, red.), ingin sukses hidup di akhirat kelak,
juga harus ditempuh dengan ilmu, ingin sukses hidup pada dunia dan akhirat juga
harus ditempuh dengan ilmu. Imam Syafi'I dalam majlis ta'limnya pernah
menyampaikan, bahwa kehidupan pemuda itu harus disibukkan dengan mencari ilmu
yang dengan itu ia mantapkan ketaqwaannya, apabila ia terputus dalam mencari
ilmu maka wujuduhu ka'adamihi (adanya sama dengan tidak adanya) dan
harus segera dibacakan takbir empat kali sebagai simbol akan kematiannya.
Kesimpulan
Pernikahan dini atau menikahi anak
usia dini melanggar aturan perundang-undangan, menyimpang dari aturan Hukum
Islam karena akan banyak membawa mudharat bagi yang melakukan, keluarga dan
masyarakat luas, melanggar rambu-rambu yang ditetapkan secara medis dan
meresahkan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Wallahu a'lam bis
showab.
*Kepala
KUA Kecamatan Besuki Kab. Situbondo periode 14 April 2014 sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment