Breaking

Monday, February 26, 2018

PERNIKAHAN DINI


Oleh : H. BDUL MUKTI, S.Ag.,M.H.I.*

            Pernikahan Dini yang dimaksud di sini bukan pernikahannya Si Dini seperti salah satu judul sinetron yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Akan tetapi pernikahan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum mencapai umur 19 tahun bagi Si Pria dan 16 tahun bagi Si Wanita. Atau pernikahan yang dilakukan dimana calon pengantin (catin) pria belum berusia 25 tahun dan catin wanita belum berusia 20 tahun sesuai anjuran pemerintah. Hal ini perlu penulis jelaskan agar pembaca tidak salah persepsi dalam memahami tulisan ini.
Pernikahan Dini dan Peraturan Perundangan
            Sebetulnya persoalan pernikahan dini merupakan masalah klasik yang sudah ada sejak zaman dahulu. Konon Rasulullah Muhammad SAW menikahi 'A'isyah binti Abu Bakar as Shiddiq rodiyallohu 'anhuma ketika 'A'isyah masih berusia 9 tahun dan menjadi satu-satunya istri Rasulullah yang perawan ( bikr ). Persolan ini menjadi aktual dan relevan kembali setelah Undang-undang no. 1 tahun 1974 mengatur bahwa usia minimal bagi calon suami untuk menikah adalah 19 tahun dan untuk calon istri 16 tahun. Apabila usia catin kurang dari itu harus mendapat izin dispensasi dari Pengadilan Agama dan apabila kurang dari 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya, kalo kedua orang tuanya meninggal izin bisa diperoleh dari wali pengampu / yang memelihara. ( UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ).
Kemudian pemerintah menindak-lanjuti dengan mengeluarkan aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975. Untuk menguatkan sistem pengadilan mana yang berhak menangani apabila terjadi sengketa di bidang pernikahan, maka diundangkanlah UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai hukum acara untuk berpekara di lingkungan Pengadilan Agama. Dengan unudang-undang ini menjadi jelaslah bagi ummat Islam bahwa apabila terjadi sengketa perkara-perkara pernikahan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama, termasuk apabila terjadi pernikahan dini, kemudian ada pihak yang merasa dirugikan atau terdlolimi, bisa mengajukan pembatalan melalui Pengadilan Agama. Agar terjadi kepastian hukum dalam masalah pernikahan ini ( juga di bidang Waris dan perwakafan ), maka keluarlah Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ( K.H.I. )sebagai hukum materiil bagi para hakim agama. Pasal 15 KHI menerangkan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU no.1 / 1974 yakni calon suami minimal umur 19 tahun dan calon istri minimal umur 16 tahun.
            Juga setelah pemerintah mengundangkan UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dimana yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan orang tua atau keluarga yang mengasuh apabila orang tuanya tidak mengasuh atau meninggal, wajib dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak ( Lihat pasal 1 ayat 1 dan pasal 26 ayat 1c). Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain ( baik dengan menyuruh berzina atau menikahkannya, pen.) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).( Ibid. pasal 88).
            Masalah pernikahan dini disinyalir sarat akan pelanggaran baik secara hukum positif maupun hukum agama ( fiqih ). Lantas bagaimanakah persoalan ini jika dilihat dari sudut pandang agama, medis dan sosial kemasyarakatan ?
Tinjauan Agama, Medis dan Sosial Kemasyarakatan
            Pernikahan merupakan pintu gerbang untuk menuju kehidupan rumah tangga dimana setiap pasangan yang menikah mengharapkan kehidupan rumah tangga yang harmonis penuh dengan ketenangan, kedamaian, kebahagiaan dan dihiasi dengan cinta kasih yang tulus dari masing-masing pasangan. Dan selama berkecimpung di dunia kepenghuluan, belum pernah penulis mendengar ada  Catin yang menginginkan rumah tangga yang akan dibangun nanti putus di tengah jalan dalam artian bercerai di Pengadilan Agama sebelum Allah SWT memisahkan keduanya karena maut merenggut salah satu pasangan. Oleh karena itu tentunya rumah tangga harus dibangun berlandaskan dasar yang kokoh dan dijalankan oleh sumber daya manusia (SDM) yang matang dan tangguh, matang usianya, pola pikirnya, ilmunya dan tangguh mental spiritualnya serta ekonominya. Tanpa ikhtiar seperti ini nampaknya agak sulit bagi setiap pasangan dalam mengarungi mahligai rumah tangga untuk sampai kepada cita, angan dan asa yang diinginkan. Allah SWT memberikan bimbingan kepada kita lewat firmanNya ;
     وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي       ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : "Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakanuntukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." ( Q.S. Ar Rum (30) : 21 ).

            Untuk membuat seorang suami cenderung dan merasa tenteram bersama istrinya tentu diperlukan seorang isteri yang menarik ( cantik ) menurut ukuran sang suami dan mampu berbuat sesuatu agar suami merasa tenang dan tenteram di sampingnya. Dengan demikian diperlukan suami-isteri yang saling pengertian, dan hal ini akan sulit diwujudkan manakala salah satu pasangan masih bersikap kekanak-kanakan yang selalu ingin diperhatikan tetapi dia kurang memperhatikan, setiap keinginannya harus selalu dipenuhi tanpa mengerti kondisi ekonomi pasangan dan tidak mampu untuk diajak bermusyawarah dalam memecahkan segala problematika kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu Komisi Fatwa MUI pada tahun 2006 bersefakat untuk mengharamkan pernikahan dini karena banyak membawa kemudharatan daripada manfaat kemaslahatan yang akan diperoleh, tetapi MUI masih menghukumi syah pernikahan dini. ( Jawa Post 29 Oktober 2008 ).
            Hukum Islam diciptakan tujuannya adalah untuk membawa kepada kemaslahatan umat manusia.( Lihat Abdul Wahab Khalaf : 'Ilmu ushul al Fiqh, Darul Qalam 1398 H/1978 M, hal. 58 ). Manakala dalam penerapan suatu hukum tidak membawa kepada kemaslahatan tetapi malah mendatangkan kemudharatan maka hukum itu harus ditinggalkan. Seperti kasus Syeh Puji yang menikahi gadis berusia 12 tahun Lutfiana Ulfa, ia beralasan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW yang menikahi 'A'isyah konon ketika masih berusia 9 tahun. Menikahnya itu yang sunah Nabi, tetapi menikah dengan gadis dibawah umur apa termasuk sunah nabi ? ini yang menurut penulis perlu reinterpretasi dalam memahami sebuah hadits. Karena Nabi Muhammad hanya mengatakan ; "Nikah itu sunnahku barang siapa yang tidak senang dengan sunnahku berarti ia bukan termasuk ummatku". Penulis belum pernah menemukan bahwa Nabi memerintahkan atau menganjurkan untuk menikahi gadis yang masih sangat muda belia dan belum siap untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang akan ia jumpai dalam kehidupan berumah tangga. Bahkan Nabi pernah menyerukan kepada para pemuda-pemudi yang telah mampu / memiliki kemampuan ( istitho'ah ) untuk segera menikah, dan bagi yang belum mampu harus menjaga kehormatannya dan mengendalikan hawa nafsunya dengan berpuasa. Dalam konteks sekarang ini "mampu menikah" itu manakala seseorang sehat jasmani rohani, memiliki cukup ilmu, baik ilmu agama maupun disiplin ilmu yang lain serta keterampilan sebagai bekal untuk mencari solusi terbaik dalam persoalan-persoalan rumah tangga dan mempunyai penghasilan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kemampuan ini sangat sulit dimiliki oleh seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah yang semestinya ia harus konsern dalam belajar untuk mencari ilmu.
            Salah satu tujuan pernikahan itu adalah untuk memperoleh keturunan guna mempersiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas tentunya. Secara medis, rahim yang siap dan memenuhi standar kesehatan untuk hamil apabila wanita berusia antara 21 - 35 tahun. Apabila wanita hamil kurang dari atau melebihi usia itu dikhawatirkan atau rentan terjadi kelainan-kelainan pada bayi dan bisa membawa mudharat bagi ibu sang bayi. Bukankah Al Qur'an telah membimbing kita agar kita mempersiapkan generasi penerus yang handal dan bisa diandalkan ?! Generasi yang tangguh ilmunya sehingga dia bisa bersaing di bursa kerja, mampu membimbing keluarga dan masyarakat, kuat ekonominya sehingga dia tidak membebani orang tua dan masyarakat sekitarnya meminta-minta dan menjadi golongan marginal yang tidak diperhitungkan dan menjadi sampah masyarakat na'udzu billah min tilka.( Lihat Q.S. An Nisa' (4) : 9 ).
            Sekarang masyarakat mulai sadar akan pentingnya pendidikan, sehingga lambat laun semakin berkurang orang tua yang menikahkan dini putera-puterinya. Harus disadari bersama bahwa dengan menikahkan anak di usia dini bukan malah meringankan beban orang tua, tetapi malah menambah beban bagi orang tua, bukan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah. Anak yang masih usia dini apabila dia menikah, maka setiap mendapatkan masalah dalam rumah tangga, dia akan selalu mengadu ke orang tuanya, dan banyak diantara mereka yang menikah di usia dini, gagal / tidak berhasil mempertahankan rumah tangganya dan akhirnya kembali membebani orang tuanya. Rasulullah Muhammad SAW pernah membimbing kita lewat sabdanya, bahwa apabila kita ingin sukses hidup di dunia ini, harus ditempuh dengan ilmu ( agama dan ilmu pengetahuan lainnya, red.), ingin sukses hidup di akhirat kelak, juga harus ditempuh dengan ilmu, ingin sukses hidup pada dunia dan akhirat juga harus ditempuh dengan ilmu. Imam Syafi'I dalam majlis ta'limnya pernah menyampaikan, bahwa kehidupan pemuda itu harus disibukkan dengan mencari ilmu yang dengan itu ia mantapkan ketaqwaannya, apabila ia terputus dalam mencari ilmu maka wujuduhu ka'adamihi (adanya sama dengan tidak adanya) dan harus segera dibacakan takbir empat kali sebagai simbol akan kematiannya.
Kesimpulan
            Pernikahan dini atau menikahi anak usia dini melanggar aturan perundang-undangan, menyimpang dari aturan Hukum Islam karena akan banyak membawa mudharat bagi yang melakukan, keluarga dan masyarakat luas, melanggar rambu-rambu yang ditetapkan secara medis dan meresahkan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Wallahu a'lam bis showab.

*Kepala KUA Kecamatan Besuki Kab. Situbondo periode 14 April 2014 sampai sekarang.

No comments:

Post a Comment