Breaking

Monday, March 26, 2018

PENETAPAN NASAB

 (Kajian dalam persfektif fiqh dan Hukum Positif)

Oleh : H. Abdul Mukti, M.HI

Prolog
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu penulis jelaskan mengenai judul tulisan ini, bahwa yang dimaksud penetapan nasab disini adalah penetapan asal usul anak,
dan dalam konteks kepenghuluan bisa dibawa kepada pengertian penetapan asal usul Calon Pengantin (Catin). Dalam masalah penetapan nasab ini, banyak diantara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) -termasuk penulis -dalam melaksanakan tugas pencatatan pernikahan, percaya saja terhadap apa yang tertulis pada surat keterangan asal-usul (model N2) atau surat keterangan orang tua (model N4) yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa/Lurah, tanpa melakukan suatu penelitian. Padahal hal ini (penelitian) sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud kehati-hatian kita dalam memelihara garis nasab, juga dalam masalah penentuan wali nikah.
Sebagaimana diketahui Islam sangat menjaga  garis nasab/keturunan ini, sehingga ia melarang adopsi (tabanni) yang menyembunyikan/menghilangkan asal-usul anak yang semestinya (Lihat ;  Yusuf Qordhawi,DR., dalam Halal Haram dalam Islam, hal.314. juga disinyalir dalam QS. Al Ahzab; 4-5). Rasulullah Muhammad SAW. melarang seseorang yang memposisikan diri sebagai ayah seseorang padahal ia bukan ayahnya, juga anak yang menisbahkan diri kepada selain ayah kandungnya sendiri, karena hal ini merupakan kemungkaran yang menyebabkan kutukan Sang Pencipta dan seluruh makhluk-Nya. Nabi bersabda, “Barangsiapa mengklaim sebagai ayah selain ayahnya, atau menisbahkan diri kepada selain walinya, ia mendapatkan laknat Allah, malaikat dan seluruh umat manusia.”(Muttafaqun’alaih). Beliau juga bersabda ; “Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya, padahal ia tahu kalau ia bukan bapaknya, maka surga diharamkan baginya.”(Muttafaqun’alaih). Begitulah Islam sangat menjaga garis nasab.

Persfektif Fiqh dan Hukum Positif
Anak adalah rahasia orang tua,  pembawa karakternya dan perpanjangan wujudnya setelah mati. Anak akan mewarisi watak, kepribadian, karakter dan perinagai orang tua, baik yang bagus maupun yang buruk. Karena itulah, Allah SWT. Mengharamkan zina dan memerintahkan pernikahan, dengan maksud agar nasab dan keturunan dapat terpelihara, “air” tidak bercampur aduk, anak pun dapat diketahui siapa bapaknya, dan orang tua pun dapat dikenali siapakah putera-puterinya. Dengan pernikahan seorang isteri  hanya khusus untuk suaminya. Ia tidak boleh mengkhianati atau menyirami “ladangnya” dengan “air” lelaki lain. Dengan begitu, siapa saja yang terlahir dari rahimnya, ia adalah anak-anak suaminya juga, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari pihak bapak, atau tuntutan dari pihak ibu. Karena itu Rasulullah pernah bersabda, “Anak milik tempat tidur", maksudnya bahwa ia secara syah adalah milik kedua orang tua yang menyebabkannya lahir.
Ada tulisan menarik tentang penetapan nasab ini, yaitu yang ditulis oleh Syaikh Wahbah Juhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu jilid VII halaman 690 sebagai berikut :
Artinya:”Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi degan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami isteri (yang bersangkutan).”  Dari sini dapat difahami bahwa penetapan nasab itu didasarkan pada adanya sebuah pernikahan, tidak peduli dengan status hukum pernikahan itu sendiri, apakah nikah syah secara hukum (legal formal), atau fasid atau pernikahan sirri dalam pengertian nikah yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak tercatat pada akta nikah KUA Kecamatan. Jadi asal ada pengakuan dari dua orang saksi bahwa telah terjadi pernikahan dari orang tua seseorang atau sulit membuktikan bahwa telah terjadi pernikahannya tetapi anak itu diketahui telah tinggal dan dirawat oleh suami isteri tersebut minimal selama empat bulan lamanya, sudah dapat ditetapkan bahwa anak itu adalah anak sepasang suami isteri tersebut. Dengan demikian tidak perlu PPN meminta buku nikah orang tua Catin yang akan menikah, tidak keliru bila cukup melihat surat model N2 dan N4 dari desa/kelurahan. Begitu mudahnya penetapan nasab menurut fiqh. Lantas bagaimana menurut hukum positif?
     Penetapan nasab atau asal usul anak menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia (Hukum Positif), menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Hal ini tercantum jelas pada penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jis Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah antara lain angka (20), yaitu tentang penetapan asal-usul seorang anak; dan angka (22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain (isbat nikah). Penulis berkesimpulan bahwa kedua perkara tersebut mempunyai hubungan hukum yang erat (innerlijke samenhangen); sebagai akibat dari suatu perkawinan. Oleh karena itu permohonannya bisa digabung menjadi satu. Perlu diketahui bahwa salah satu hukum meteriil Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara adalah UU no.1/1974 tentang perkawinan. Pada Bab IX Kedudukan Anak pasal 42 dikatakan ; anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, dan pasal 43 (1) berbunyi ; anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Kesimpulan

        Islam sangat memelihara dan menjaga garis nasab, maka sudah seyogyanya bila kita selaku ummatnya juga mempunyai semangat yang sama dalam menentukan dan menetapkan garis nasab dengan mengkolaborasikan dasar-dasar hazanah pemikiran Islam (fiqh), dengan hazanah pemikiran Islam yang sudah terkodifikasi (Hukum Positif).
       Akhirnya saran, kritik dan masukan positif dari pembaca sangat penulis harapkan, untuk penyempurnaan tulisan yang sangat sederhana ini. Wallohu a’lam bisshowab.

Pelengkap ;

1.   QS. Al ahzab : 4-5
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه وما جعل أزواجكم اللائي تظاهرون منهن أمهاتكم وما جعل أدعياءكم أبناءكم ذلكم قولكم بأفواهكم والله يقول الحق وهو يهدي السبيل
ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن ما تعمدت قلوبكم وكان الله غفورا رحيما

2.   Hadis dari Ali ra.
من ادعى إلى غيرأبيه أوتولى غيرمواليه فعليه لعنة الله والملا إكة والناس أجمعين

3.   Hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash,
من ادعى إلى أب غيرأبيه وهو يعلم أنه غيرأبيه فالجنة عليه حرام.

4.   Al Fiqh al Islami wa ‘adillatuh jilid VII hal. 690

الزواج الصحيح اوالفاسد سبب لإثبات النسب. وطريق لثبوته فى الواقع، فمتى ثبت الزواج ولو كان فاسدا او كان زواجا عرفيا اي منعقدا بطريق عقد خاص دون سجيل فى سجلات الزواج الرسمية، ثبت نسب كل ما تأتي به المرأة من أولاد.

No comments:

Post a Comment