Oleh : H. Abdul Mukti, M.HI
Prolog
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu
penulis jelaskan mengenai judul tulisan ini, bahwa yang dimaksud penetapan
nasab disini adalah penetapan asal usul anak,
dan dalam konteks kepenghuluan bisa dibawa kepada pengertian penetapan asal usul Calon Pengantin (Catin). Dalam masalah penetapan nasab ini, banyak diantara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) -termasuk penulis -dalam melaksanakan tugas pencatatan pernikahan, percaya saja terhadap apa yang tertulis pada surat keterangan asal-usul (model N2) atau surat keterangan orang tua (model N4) yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa/Lurah, tanpa melakukan suatu penelitian. Padahal hal ini (penelitian) sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud kehati-hatian kita dalam memelihara garis nasab, juga dalam masalah penentuan wali nikah.
dan dalam konteks kepenghuluan bisa dibawa kepada pengertian penetapan asal usul Calon Pengantin (Catin). Dalam masalah penetapan nasab ini, banyak diantara Pegawai Pencatat Nikah (PPN) -termasuk penulis -dalam melaksanakan tugas pencatatan pernikahan, percaya saja terhadap apa yang tertulis pada surat keterangan asal-usul (model N2) atau surat keterangan orang tua (model N4) yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa/Lurah, tanpa melakukan suatu penelitian. Padahal hal ini (penelitian) sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud kehati-hatian kita dalam memelihara garis nasab, juga dalam masalah penentuan wali nikah.
Sebagaimana diketahui Islam sangat menjaga garis nasab/keturunan ini, sehingga ia
melarang adopsi (tabanni) yang menyembunyikan/menghilangkan asal-usul
anak yang semestinya (Lihat ; Yusuf
Qordhawi,DR., dalam Halal Haram dalam Islam, hal.314. juga disinyalir
dalam QS. Al Ahzab; 4-5). Rasulullah Muhammad SAW. melarang seseorang
yang memposisikan diri sebagai ayah seseorang padahal ia bukan ayahnya, juga
anak yang menisbahkan diri kepada selain ayah kandungnya sendiri, karena hal
ini merupakan kemungkaran yang menyebabkan kutukan Sang Pencipta dan seluruh
makhluk-Nya. Nabi bersabda, “Barangsiapa mengklaim sebagai ayah selain
ayahnya, atau menisbahkan diri kepada selain walinya, ia mendapatkan laknat
Allah, malaikat dan seluruh umat manusia.”(Muttafaqun’alaih). Beliau juga
bersabda ; “Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya, padahal
ia tahu kalau ia bukan bapaknya, maka surga diharamkan
baginya.”(Muttafaqun’alaih). Begitulah Islam sangat menjaga garis nasab.
Persfektif Fiqh dan Hukum Positif
Anak adalah rahasia orang tua, pembawa karakternya dan perpanjangan wujudnya
setelah mati. Anak akan mewarisi watak, kepribadian, karakter dan perinagai
orang tua, baik yang bagus maupun yang buruk. Karena itulah, Allah SWT.
Mengharamkan zina dan memerintahkan pernikahan, dengan maksud agar nasab dan
keturunan dapat terpelihara, “air” tidak bercampur aduk, anak pun dapat
diketahui siapa bapaknya, dan orang tua pun dapat dikenali siapakah
putera-puterinya. Dengan pernikahan seorang isteri hanya khusus untuk suaminya. Ia tidak boleh
mengkhianati atau menyirami “ladangnya” dengan “air” lelaki lain. Dengan begitu,
siapa saja yang terlahir dari rahimnya, ia adalah anak-anak suaminya juga,
tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari pihak bapak, atau tuntutan dari
pihak ibu. Karena itu Rasulullah pernah bersabda, “Anak milik tempat
tidur", maksudnya bahwa ia secara syah adalah milik kedua orang tua
yang menyebabkannya lahir.
Ada tulisan menarik
tentang penetapan nasab ini, yaitu yang ditulis oleh Syaikh Wahbah Juhaili
dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu jilid VII halaman 690 sebagai
berikut :
Artinya:”Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah
merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah
nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau
pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi degan cara-cara akad
tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi,
dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut
sebagai anak dari suami isteri (yang bersangkutan).” Dari sini dapat difahami bahwa penetapan
nasab itu didasarkan pada adanya sebuah pernikahan, tidak peduli dengan status
hukum pernikahan itu sendiri, apakah nikah syah secara hukum (legal formal),
atau fasid atau pernikahan sirri dalam pengertian nikah yang sudah memenuhi syarat
dan rukunnya tetapi tidak tercatat pada akta nikah KUA Kecamatan. Jadi asal ada
pengakuan dari dua orang saksi bahwa telah terjadi pernikahan dari orang tua
seseorang atau sulit membuktikan bahwa telah terjadi pernikahannya tetapi anak
itu diketahui telah tinggal dan dirawat oleh suami isteri tersebut minimal
selama empat bulan lamanya, sudah dapat ditetapkan bahwa anak itu adalah anak
sepasang suami isteri tersebut. Dengan demikian tidak perlu PPN meminta buku
nikah orang tua Catin yang akan menikah, tidak keliru bila cukup melihat surat
model N2 dan N4 dari desa/kelurahan. Begitu mudahnya penetapan nasab menurut
fiqh. Lantas bagaimana menurut hukum positif?
Penetapan nasab
atau asal usul anak menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia (Hukum Positif),
menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Hal ini tercantum jelas pada penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, Jis Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan adalah antara lain angka (20), yaitu tentang penetapan
asal-usul seorang anak; dan angka (22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain (isbat nikah). Penulis berkesimpulan
bahwa kedua perkara tersebut mempunyai hubungan hukum yang erat (innerlijke
samenhangen); sebagai akibat dari suatu perkawinan. Oleh karena itu
permohonannya bisa digabung menjadi satu. Perlu diketahui bahwa salah satu
hukum meteriil Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara adalah UU no.1/1974
tentang perkawinan. Pada Bab IX Kedudukan Anak pasal 42 dikatakan ; anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
dan pasal 43 (1) berbunyi ; anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kesimpulan
Islam sangat memelihara
dan menjaga garis nasab, maka sudah seyogyanya bila kita selaku ummatnya juga
mempunyai semangat yang sama dalam menentukan dan menetapkan garis nasab dengan
mengkolaborasikan dasar-dasar hazanah pemikiran Islam (fiqh), dengan hazanah
pemikiran Islam yang sudah terkodifikasi (Hukum Positif).
Akhirnya saran, kritik
dan masukan positif dari pembaca sangat penulis harapkan, untuk penyempurnaan
tulisan yang sangat sederhana ini. Wallohu a’lam bisshowab.
Pelengkap ;
1. QS. Al ahzab : 4-5
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه وما جعل
أزواجكم اللائي تظاهرون منهن أمهاتكم وما جعل أدعياءكم أبناءكم ذلكم قولكم بأفواهكم
والله يقول الحق وهو يهدي السبيل
ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا
آباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن ما تعمدت قلوبكم
وكان الله غفورا رحيما
2. Hadis dari Ali ra.
من ادعى إلى غيرأبيه أوتولى غيرمواليه فعليه
لعنة الله والملا إكة والناس أجمعين
3. Hadis dari Sa’ad bin
Abi Waqqash,
من ادعى إلى أب غيرأبيه وهو يعلم أنه غيرأبيه
فالجنة عليه حرام.
4. Al Fiqh al Islami wa
‘adillatuh jilid VII hal. 690
الزواج الصحيح اوالفاسد سبب لإثبات النسب.
وطريق لثبوته فى الواقع، فمتى ثبت الزواج ولو كان فاسدا او كان زواجا عرفيا اي منعقدا
بطريق عقد خاص دون سجيل فى سجلات الزواج الرسمية، ثبت نسب كل ما تأتي به المرأة من
أولاد.
No comments:
Post a Comment